Secara resmi pemerintah Jepang mengubah peraturan pelarangan menikah pasca perceraian untuk para wanita. Pada hari Jumat, kantor kabinet perdana menteri mengumumkan bahwa mereka akan mengajukan permintaan amandemen untuk undang undang yang berlaku dan menghapus pembatasan pernikahan kembali bagi perempuan.
PELARANGAN WANITA MENIKAH KEMBALI?
Undang-undang saat ini menyatakan bahwa wanita dilarang menikah lagi dalam waktu 100 hari setelah perceraian. Bahkan sebelum Juni 2016, seorang wanita harus menunggu selama enam bulan sebelum mereka bisa menikah lagi. Sangat berbeda ketika pria bisa menikah keesokan harinya setelah masa perceraian mereka.
Pertimbangan dari terciptanya peraturan pelarangan ini pada awalnya bisa dijelaskan. Jika seorang wanita segera menikah lagi setelah bercerai dan memiliki anak. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan tentang siapa ayah biologisnya. Alasan dibuatnya peraturan ini tentunya untuk menghilangkan dilema pertanyaan tentang orang tua biologis.
Tetapi pernyataan tersebut dapat dibantah dengan perumpamaan bahwa pasangan yang bercerai tapi tetap melakukan hubungan seks di ujung pernikahan mereka yang berantakan, dan bahwa orang yang sudah menikah hanya akan melakukan aktivitas seksual dengan pasangan mereka.
Hal ini juga gagal untuk menjelaskan kemungkinan bahwa seorang wanita mungkin menikah lagi dan tidak memiliki anak segera setelah itu, atau bahkan mungkin tidak memiliki anak sama sekali. Serta kemungkinan lain bahwa dia berhubungan seksual dengan seseorang yang bukan suami pertama atau kedua dan hamil saat masih lajang.
Peningkatan kesadaran masyarakat Jepang terhadap skenario-skenario tersebut kemungkinan mempengaruhi penurunan durasi masa tunggu pernikahan kembali yangg sebelumnya 180 hari menjadi 100 hari.
RUU BARU PERNIKAHAN YANG ADIL UNTUK ANAK DI MATA HUKUM
Rancangan undang-undang yang diajukan juga merupakan revisi dari aspek “praduga legitimasi” dari hukum Jepang. Berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, jika seorang wanita bercerai dan menikah lagi, tetapi memiliki anak dalam waktu 300 hari setelah perceraiannya, mantan suaminya secara hukum diakui sebagai ayah dari anak tersebut.
Sama seperti peraturan pembatasan pernikahan,alasan yang jelas untuk revisi ini ialah untuk menghindari perselisihan hak asuh anak dan didasarkan kepada asumsi kuno mengenai aktivitas seksual yang secara umum tidak benar. Larangan 100 hari bisa dibilang bahkan kurang masuk akal dalam hal mencoba membangun keadaan transisi kosong dalam aktivitas seksual wanita.
Efek samping yang tidak diinginkan dari undang-undang legitimasi pribadi adalah kasus pasangan yang tidak mendaftarkan kelahiran anak untuk mencegah mantan suami sang istri ditunjuk sebagai ayah sahnya.
Tidak adanya pencatatan sipil dalam keluarga dapat membuat sang anak kesulitan ketika beranjak dewasa dan untuk kepentingan pendataan identitas seperti pekerjaan, pajak, dan masalah legalitas lainnya. Sementara pada kenyataannya, beberapa praktik ibu yang menikah lagi tidak mencatatkan kelahiran, hal itu cukup sering terjadi sehingga pemerintah mulai berpikir ulang bahwa sudah waktunya untuk melakukan langkah pembaruan.
Dalam peraturan terbaru, jika sang istri belum menikah lagi, mantan suami dapat dipertimbangkan menjadi ayah legal dari sang bayi setelah 300 hari perceraian. Jikalau dia menikah lagi, maka suami barunya akan menjadi ayah yang sah dari bayi tersebut.
Amandemen ini adalah yang pertama kali sejak Jepang meresmikan undang-undang perdata di tahun 1898 setelah akhir pemerintahan shogun feodal.
Bagaimana menurut Titipers mengenai revisi undang-undang ini?
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Sumber: fnn.jp soranews24
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang
[blog_posts style=”default” columns__md=”1″ cat=”5055″ posts=”20″ excerpt=”false” show_category=”label” comments=”false” image_height=”100%”]